Lebih Baik Menjadi Mahasiswa Akademis atau Mahasiswa Aktivis?

Pilih mana menjadi mahasiswa akademis atau aktivis?

foto: flpmaliki.blogspot.co.id

Mahasiswa akademis adalah mahasiswa yang lebih berorientasi pada nilai akademik, alias IP atau IPK. 

Kuliah, mengerjakan tugas, pergi ke perpustakaan, membaca bermacam literatur serta akrab dengan textbook dan jurnal menjadi ciri khas mereka.

Sedangkan mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. 

Rapat organisasi, rapat panitia, rapat koordinasi, rapat evaluasi program, penggalangan dana atau merancang program kerja organisasi adalah sederet aktivitas rutin mereka. 

Mahasiswa aktivis masih tetap kuliah, namun kadang tidak 100% karena seringkali harus mengurusi organisasi nya.

Teman-teman pilih mana?

Jika ada yang masih bingung harus memilih menjadi mahasiswa yang mana, tulisan ini mudah-mudahan dapat menjadi jawabannya. 

Minimal memberikan sedikit pencerahan agar lebih mantap memilih.

Menjadi mahasiswa akademis atau menjadi mahasiswa aktivis, sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. 

Tergantung teman-teman lebih cenderung ke mana. Sebab, tidak ada yang lebih hebat atau lebih bergengsi.

Mari kita telaah bersama-sama.

Sebelum teman-teman memilih untuk menjadi mahasiswa akademis atau mahasiswa aktivis, sebaiknya pertimbangkan beberapa hal berikut ini.

1. Target ketika lulus

Ketika lulus, teman-teman ingin punya IPK berapa? 

Apakah ingin punya IPK cum laude atau cukup tiga koma sekian, atau yang penting lulus?

Kalau teman-teman targetnya punya IPK tinggi, mendapat gelar cum laude. 

Maka pilihannya jelas, menjadi mahasiswa akademis. 

Fokus kuliah dan kegiatan turunannya. 

Sebab, kalau teman-teman ambisinya mengurus organisasi. 

Waktu belajar teman-teman akan tersita. 

Apa lagi jika teman-teman tidak terlalu pandai mengatur waktu. 

Akademik teman-teman bisa berantakan.

Sebaliknya, jika teman-teman tidak terlalu memikirkan nilai IPK dan gelar saat kelulusan atau wisuda. 

Maka teman-teman dapat memilih menjadi mahasiswa aktivis. 

Karena umumnya mahasiswa aktivis sebagian waktu belajar nya akan tersita oleh aktivitas mengurus organisasi nya. 

Maka seringkali, nilai IPK yang tidak terlalu tinggi menjadi kompensasi nya.

Apakah menjadi mahasiswa aktivis pasti akan mendapatkan nilai IPK kecil?

Belum tentu. 

Saya punya teman aktivis, mengurus dua sampai tiga organisasi, tapi ia tetap dapat lulus dengan IPK cum laude. 

Tidak banyak memang, tapi ada. Tergantung bagaimana ia mengelola waktu dan aktivitasnya.

2. Target setelah lulus

Pertimbangan selanjutnya, memilih menjadi mahasiswa akademis atau mahasiswa aktivis adalah target teman-teman setelah lulus. 

Jika target setelah lulus adalah bekerja atau menekuni profesi pada golongan yang membutuhkan IPK tinggi sebagai syaratnya, maka teman-teman sebaiknya menjadi mahasiswa akademis.

Profesi atau pekerjaan yang membutuhkan nilai IPK tinggi adalah seperti dosen, peneliti, dokter spesialis atau ilmuwan. 

Profesi-profesi tersebut menuntut pemahaman keilmuan yang memenuhi sehingga nilai IPK menjadi salah satu indikator nya. 

Tidak mungkin seorang peneliti, misalnya, IPKnya cuma 3,10 dan nilai mata kuliah matematika dan statistik dapat C. 

Paling tidak IPKnya adalah 3,75 dan mendapat nilai A atau minimal B untuk mata kuliah Matematika dan Statistik.

Sebaliknya, jika target teman-teman setelah lulus adalah menekuni profesi yang tidak membutuhkan IPK terlalu tinggi atau lebih berniat menekuni dunia wirausaha, maka menjadi mahasiswa aktivis menjadi pilihan yang layak dipertimbangkan.

Contoh profesi yang tidak terlalu membutuhkan IPK tinggi seperti volunteer pada lembaga nirlaba, Supervisor lapangan, dan sejenisnya. 

Profesi-profesi tersebut lebih membutuhkan kecekatan, keterampilan team work dan ketahanan bekerja under pressure.

3. Passion pribadi

Jika passion teman-teman adalah pada bidang yang memang membutuhkan nilai IPK tinggi, maka saya sangat menganjurkan untuk menjadi mahasiswa akademis. 

Tapi, jika passion teman-teman adalah pada bidang-bidang yang tidak terlalu membutuhkan nilai IPK tinggi, maka menjadi mahasiswa aktivis adalah pilihan yang bijak.

Menemukan passion memang tidak mudah, tapi tetap penting. 

Agar jangan sampai aktivitas yang dilakukan selama kuliah tidak sesuai dengan passion nya. 

Disamping itu, teman-teman tidak akan menemukan kesenangan dalam kuliahnya. 

Teman-teman juga akan mudah kehilangan semangat. 

Bahkan lebih parah lagi, setelah lulus, boleh jadi akan meninggalkan apa yang telah dipelajari nya selama kuliah dan beralih menekuni passion nya.

Oleh karena itu, cobalah untuk mencari tahu, passion teman-teman itu sebenarnya di mana? 

Temukan itu segera. 

Jika sudah diketahui passion teman-teman di mana, maka tinggal dilihat. 

Apakah mengarah kepada kelompok yang membutuhkan nilai IPK tinggi atau tidak. 

Setelah itu, kita baru dapat memilih mau menjadi mahasiswa seperti apa.

4. Idealnya bagaimana?

Idealnya, tentu saja teman-teman memiliki nilai IPK tinggi bahkan cum laude tapi juga aktif di organisasi. 

Sehingga bekal hard skill (kemampuan akademis) dan soft skill (non akademis) dapat terlatih dengan baik. 

Keduanya sama-sama penting sehingga harus diperjuangkan. 

Keduanya sama-sama penting untuk memperoleh pekerjaan yang maknyus, salary yang mantap dan tentu saja percepatan karier yang cemerlang.

Mungkin ada yang penasaran, yang disebut nilai IPK tinggi itu sih berapa?

Jawabannya relatif. 

Tapi secara umum, yang disebut nilai IPK tinggi itu adalah kisaran di atas 3,50. 

Walaupun tingkat kesulitan dalam perjuangan memperolehnya akan berbeda-beda sesuai dengan jurusan dan program studinya.

5. Jalan tengah

Jika melihat penjelasan di atas, sepertinya, menjadi mahasiswa akademis dan mahasiswa aktivis adalah dua kutub yang berseberangan. 

Jika memilih menjadi mahasiswa akademis maka jangan terlalu aktif menjadi mahasiswa aktivis. 

Demikian juga sebaliknya. 

Jika memutuskan untuk menjadi mahasiswa aktivis, maka harus rela nilai akademis nya tidak bagus.

Sebenarnya tidak begitu teman-teman. 

Adalah benar, mahasiswa akademis dan mahasiswa aktivis adalah dua kutub yang berseberangan. 

Tetapi sebenarnya, kedua hal itulah yang menyeimbangkan kepribadian dan kompetensi kita.

Seperti kutub utara dan selatan bumi. 

Menyeimbangkan bumi, menarik jarum utara dan selatan kompas dan pada akhirnya, membantu memberikan arah yang tepat. 

Demikian juga dalam hal kuliah. 

Menjadi mahasiswa akademis dan mahasiswa aktivis seharusnya dijalani bersama tanpa saling mengalahkan.

Saran kami, teman-teman kuliah fokus pada target IPK yang ingin hendak diraih. 

Tetapi, terjunlah di organisasi yang mendukung pengembangan skill akademis atau passion teman-teman. 

Pilihlah organisasi yang berisi orang-orang dengan satu semangat, satu visi kuliah dengan teman-teman. 

Sehingga, antara kuliah dan organisasi dapat saling mendukung.

Contoh, jika teman-teman ingin setelah lulus nanti menjadi seorang peneliti, dosen dan sejenisnya, maka ikutilah organisasi yang bergerak seputar itu. 

Seperti kalau di SMA ada ekskul KIR, kira-kira terjunlah di organisasi yang semacam itu. 

Jika teman-teman ingin menjadi penulis, blogger dan sejenisnya yang dekat dengan dunia tulis menulis dan jurnalistik. 

Maka sebaiknya, teman-teman mengikuti organisasi seputar dunia tulis menulis dan jurnalistik.


Jangan mengikuti organisasi yang tidak mendukung cita-cita teman-teman. 

Contoh, maaf, teman-teman ingin menjadi dosen dan peneliti tetapi ikut organisasi paduan suara atau klub tari.

Kira-kira begitu. 

Sekali lagi, jangan mengikuti organisasi yang tidak mendukung cita-cita atau passion teman-teman. 

Karena biasanya hal yang seperti itu tidak akan saling menguatkan.

sumber: infomahasiswa.com